Perempuan Bersayap Satu

Cerpen: Vindri Analekta

sayap-satu
Ilustrasi Foto: Vindri Analekta

Dengarkan kesakitannya secara perlahan. Kelelapannya membicarakan kesakitan yang terlanjur hidup dengan keasingannya sendiri.

Tak lagi mempedulikan sore yang selalu dia tunggu untuk sekedar menarik nafas panjang sambil merentangkan tangan. Sore yang mempunyai kesunyian disekitarbising kota dengan pancaran warnamengantarkan malam. Hidupnya dekat dengan jamuan sore hari sebelum dia meninggalkan itu semua. Dia menunggu sapaan hangat seperti biasanya. Tangannya sudah siap untuk direntangkan. Berhari-hari…tapi tak juga muncul sambutan senja di sore hari. Hanya datang rintik hujan sebelum hari menjadi gelap membuat tubuhnya yang menghadap barat, basah kuyup.

Seakan tak mau lagi berusaha menjadi perempuan yang diterpa terik, dihunus angin malam dan bangun kembali di pagi hari untuk menumpuk penderitaan.Kenangannya bersama senja sengaja disembunyikan dibalik kelelapan. Kini dia tidur. Tidur dan tidur. Matanya terpejam mengalihkan wajah kalut.

Ketika malam mulai meninggalkan hari, bias fajar mencoba menghidupkan kembali. Masuk melewati celah-celah jendela, merajut pantulan demi pantulan.Dengan aroma khas basah dedaunan.Tak ada yang bisa membangunkannya. Rasa sakit telah membunuhnya, tapi tak mampu membuatnya mati. Dia tak selalu memejamkan mata, karenagenangan airdi matanyaterlalu tebal. Sekalipun melihat, tak akan sejelas ingatannya tentang kepiluan. Sejak awal berbaring, sore tak pernah lagi dia tengok.Begitu juga balutan luka dipunggungnyayang belum juga mengering.Sepertinya kesakitan masih betahmelelapkannya.Dia masih bergelut dengan keasingan. Kehilangan satu sayap membuatnya tidak seimbang. Tidak lagi bisa terbang seperti thinker bell di cerita kesukaannya.

Tak pernah berhenti, setiap paginya hanyalah pengulangan yang sama. Bias itu muncul tanpa merasa lelah karena diacuhkan. Menggurat warna lebih cerah dari hari kehari. Tak lelah datang, membelai lembut rambut panjang yang tak terawat lagi, dan membangunkannya dengan tiupan udara pagi.Dia masih lelap dengan tangisan. Sepertinya kesakitan semakin akrab. Sesekali dia berteriak kesakitan, menangisi kesakitan, dan tidur dalam kesakitan.

Ada yang memperhatikannya.

Ada yang memperhatikannya!

Dia yang menganggap hidup sebagai kesunyian harusnya bangun. Menjadi sadar sebelum berkelana dalam keterasingan. Namun tidak, dia tetap pergi. Pergi kemanapun dia bisa tinggal dengan sayap satunya. Menahan sesak pada dada yang membungkuk. Mencari tempat teduh pada setiap jalan yang ditandai tanah basah jejak rintik hujan yang memandunya. Seolah ada tujuan, tapi tidak pernah sampai. Dia hanya meraba-raba. Memijakkan kaki mengikuti tanah basah di dunia yang teramat ranum dengan kelicikan, pelecehan dan kriminalitas.

Di setiap perjalanannya bertemu dengan mereka yang sungguh keterlaluan, masih menggunakan kaki untuk berpindah. Tak menggunakan sayap lengkapnya untuk terbang. Berpindah dari tempat satu ketempat yang lainnya. Berjalan dengan rakusnya. Mengepakkan sayap, membusungkan dada tapi tak mengangkat kaki dari tanah. Mereka sedang pamer atau sedang bersandiwara? Mereka terlihat tak menanggung beban apa-apa. Benar-benar lingkungan yang riuh dengan kepura-puraan.

Kesunyian, akrab sekali terjerat dalam tawa paksanya. Memaksakan diri untuk tinggal didalam populasi dan populasi kecil lainnya. Karena dunia tak akan menerima apa adanya. Tangis hanya bualan bagi mereka yang keras akan logika. Namun dia berusaha berjalan menuju satu tempat ketempat lainnya dengan tujuan; mencari tempat nyaman.

Dia meneruskan perjalanan, mencari tempat yang nyaman. Supaya dia terhindar dari cibiran orang ketika melihat kesakitannya. Tak ada yang lucu di dunia ini selain menertawakan kelemahan orang lain. Entah mengapa, hiburan mereka terlalu indah untuk disangsikan. Rasa peduli menjadi sangat murah untuk memperkaya diri. Itu sebabnya dia mengasingkan diri untuk mencari tempat nyaman yang dijanjikan rintik hujan. Supaya dia bisa menari bebas dengan sayap satunya. Bukan memaksakan diri untuk tinggal didalam populasi dan populasi kecil lainnya.

Di salah satu perjalanannya, dia mendengar suara dari cahaya remang-remang yang berbisik

“Jika kau ingin menemukan tempat ternyaman, kau harus bersamaku”.

Langkahnya segera mendekati cahaya itu. Hatinya memburu kemanapun rasa percaya ada. Dia kejar cahaya itu, namun tenaganya tak cukup. Dia kelelahan, dia menyerah, dan terduduk. Dibiarkan cahaya itu pergi.

Dia kelelahan, nafasnya terengah-engah. Hatinya tak lagi menggebu-gebu seperti pertama dia yakin akanada tempat yang nyaman. Tertunduk menangis hingga satu sayapnya menjulang di lorong yang remang.

Lagi-lagi ada yang membangunkannya supaya tak hidup dalam kelelapan yang merugikan. Tetapi bias cahaya pagi tak lagi ramah membangunkan tidurnya. Dia bangun dengan tarikan nafas berat. Waktunya tak banyak untuk membasuh badan dari kesakitan. Bias cahaya mengangkat bahunya. Mendorong badannya supaya segera menyegarkan diri. Menarik perempuan bersayap satu menuju pintu lalu dibukanya pemisah keasingan.

Ada yang memperhatikannya? Ada.

Dia terbangun dan hidup dengan luka yang tak pernah sembuh dibalut ingatan. Keterpaksaan dalam hidup dia jalani untuk melengkapi cerita menuju kematian yang pasti.Senyumnya pasrah dengan pandangan mereka. Kini hidupnya menyimpan keasingan. Menopang satu sayap dan bekas luka yang tak kunjung mengering.

Vindri Analekta adalah Vokalis Band Atlas, ia menjadi ibu negara di Lingkar Merimbun. Ia juga menyukai Media Rekam.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.