WANITA

Oleh : Tri Astuti
Guru di Sokola Kaki Gunung Jember

Berjuang dalam kekangan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuangkan kata wanita diartikan wanita dewasa. Sedangkan dalam Bahasa Jawa kata wanita berasal dari kata wani dan ditata artinya berani diatur. Feminisme Jawa berbeda dengan feminisme barat yang rata-rata mempunyai tujuan kesetaraan gender, di feminisme Jawa lebih pada nerimo dan sikap pasrah. Bukan berarti wanita Jawa itu lemah dan selalu menerima tapi justru itu yang jadi kekuatan sendiri.

Wanita ketimuran mempunyai kekuataan dan cara sendiri dalam memperjuangkan segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan diri sendiri atau lingkungannya. Tahun 2000-an menjadi salah satu tolak ukur aktivis-aktivis wanita mulai diperbincangkan publik mengenai sepak terjak perjuangannya dalam lingkungan sekitar. Mereka bahkan berusaha melindungi ibu pertiwi yang dipijaknya dari tangan-tangan serakah mementingkan kelompok tertentu saja.

Kekuatan Lembut Wanita Jawa

Wanita Indonesia rata-rata menjadi kelompok minoritas atau ditempatkan di belakang dan hal ini tidak bisa dipungkiri menjadikan kecenderungan bias gender dalam pengambilan keputusan-keputusan. Dalam sastra jawa klasik tersimpan sejumlah naskah yang menunjukkan sikap masyarakat Nusantara yang mengacu pada konsep menghargai atau menghormati wanita, salah satunya naskah Tantri Kamanda seperti yang dituliskan Widyastuti dalam penelitian cerita rakyat Jawa pada tahun 2002. Di dalam penelitian tersebut Widyastuti menemukan penggambaran sosok wanita yang berhasil mengalahkan nafsu seorang raja. Atau cerita sastra jawa lainnya seperti dalam pewayangan ramayana atau sastra modern belakangan ini dimana penulis-penulis wanita mulai kritis dan menunjukan tentang suara wanita dan perjuangannya bersama dengan pasangannya di dalam berumah tangga. Penulisan akan perjuangan wanita ini tidak hanya di tulis oleh penulis wanita, tetapi juga laki-laki.

Dunia sastra di Indonesia awalnya lebih banyak didominasi oleh laki-laki, sastra Jawa pun demikian. Novel-novel tentang tokoh wanita Jawa yang dibalik kelemah-lembutannya seorang yang tangguh masih jarang diangkat. Salah satu contoh novel Ni Wungkuk ing Bendha Growong ditulis oleh pengarang laki-laki R. Ng. Jasawidagda 1938 yang memunculkan tokoh wanita dengan figur kuat, berani dan pintar semangat untuk mengalahkan musuh dengan mudah. Kemudian muncul banyak penulis seperti Yunani yang sering sekali dalam karyanya menampilkan sosok wanita tangguh.

Karya sastra Indonesia belakang ini banyak sekali jenisnya, kemudahan dalam mengakses informasi memunculkan karya-karya anak bangsa dengan segala latar belakang cerita. Salah satu cerita yang masih sering diangkat persoalan mengenai wanita. Salah satunya penulis asal Jawa Timur,  Isnadi yang mencoba mengangkat cerita tentang perjuangan seorang ibu dengan peninggalan harta suaminya berupa sawah serta banting tulang menghidupi anak-anaknya hingga mereka kuliah.

Yu Sari menjadi tokoh di mana dominasi pertanian dilakukan oleh laki-laki. Yu Sari sepeninggal suaminya berusaha, belajar kemudian berani mencoba agar tanah tersebut tetap mengeluarkan hasil tidak hanya dirinya, tetapi untuk ketiga anaknya juga.

Wanita tetap membutuhkan pasangan seperti dalam simbol jawa seperti cowek lan muthu. Yu Sari tetap butuh keseimbangan, ketika dia bimbang dalam mengambil keputusan dia butuh orang yang siap diajak berdiskusi. Dan, itu tidak didapatkan oleh suaminya yang suka mabuk-mabuk dan malas. Yu Sari berjuang dalam kesendirian ketika laki-laki di sekitarnya ada yang berusaha meminta bagian tanah untuk desa dan hasil kerja yang digunakan anak-anaknya kuliah tapi ketika anak dibutuhkan tidak ada kabar rimbanya. Yu Sari tidak nrimo, dia bukan sosok yang seperti persepsi tentang wanita Jawa pada umumnya.  Bangun pagi mempersiapkan segala kebutuhan pekerja-pekerja yang melancarkan upaya dia menghidupi keluarganya.

Perjuangan Yu Sari dalam novel Mata Ibu bisa ditemukan di dalam dunia nyata di Jawa. Tepatnya di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Wanita-wanita ini memperjuang tanah dari ancaman pabrik semen dari beberapa tahun yang lalu. Di 2016, ibu-ibu Kendeng memperjuangkan tanah mereka dari semen hingga berani mengecor kaki mereka di depan halaman istana merdeka. Kerja keras mereka demi menyelamatkan tanah pertanian yang selama ini menghidupi keseharian mereka secara turun-temurun. Mereka melindungi kawasan karst Kendeng yang jadi sumber mata air lebih dari 200.000 jiwa warga Kendeng. Tujuan wanita-wanita Kendeng sama ingin melindungi Ibu pertiwi sang pemberi kehidupan. Mereka memperjuangkan yang hasilnya tidak hanya untuk mereka sendiri tapi keberlangsungan kehidupan penerus mereka yang kelak juga akan menjadi ibu.

Wanita Rimba ketangguhan dalam menjaga hutan.

“induk ake menghalau” (Ibu aku ikut). Kalimat itu lantang diucapkan sambil membereskan segala barang ke dalam tas. Hari itu, pertama kali ikut tradisi Melangun, adat istiadat yang tetap dijaga serta dijalankan sebagian Suku Anak Dalam, Orang Rimba. Sebagai wanita, tidak diperbolehkan melakukan Melangun menggunakan kendaraan bermotor, kami harus jalan kaki. Perjalanan ini berat, Melangun proses berduka Orang Rimba dimana mereka  harus meninggalkan rumah di dalam hutan untuk berpindah lokasi melupakan segala duka kehilangan keluarga terkasih. Perjalanan dulu lebih mudah bagi mereka, hutan masih lebih baik. Bahan makanan akan lebih mudah dijumpai selama perjalanan. Perjalanan Melangun sekarang lebih banyak jumpa dengan sisa-sisa pembakaran hutan dan kebun sawit. Wilayah jelajah Orang Rimba pun sudah tidak seluas dulu.

Betina bahasa orang rimba atau suku anak dalam menyebutkan wanita sedangkan Induk untuk ibu. Kata itu mungkin terkesan menyebut hewan untuk sebagian orang, tapi itu ibu bahasa mereka yang masih dipegang teguh hingga sekarang membuat ringan saja terdengar di telinga saat anak-anak memanggil ibu mereka dengan kata Induk.  Wanita bagi Orang Rimba titisan dewa yang harus dijaga bahkan meski terkesan mengisolasi tapi itu salah satu bentuk perlindungan kelompok tersebut terhadap generasi penerus mereka. Hingga sekarang peraturan adat masih melarang wanita rimba menikah dengan orang diluar kelompok mereka, sedangkan peraturan ini lebih lunak untuk laki-laki. Akan tetapi bagi mereka yang menikah dengan orang luar (non Rimba) akan kehilangan hak politiknya dalam kelompok orang rimba.

Jika Wanita di Jawa pada umumnya sudah dengan bebas memperjuangkan hak-hak mereka. Berbeda di daerah-daerah, wanita biasanya bergerak dalam diam. Berjuang meski terkesan di kekang, tuntutan mereka bukan kebebasan yang dikumandangakan femisnis di luar sana, tapi kesederhanaan dan keberlangsungan kehidupan mereka yang tenang.  Di rimba peran wanita dalam menjaga hutan mereka sangat tinggi. Wanita Rimba ketika melahirkan tanpa bantuan tenaga medis dari luar, hampir semua wanita rimba yang pernah melahirkan akan bisa membantu induk lain melahirkan. Semua proses kelahiran Orang Rimba erat kaitannya dengan pohon. Mulai dari ramuan yang digunakan untuk membantu melancarkan proses kelahiran ambil di hutan hingga ari-ari bayi ditanam dalam tanah kemudian diberi pagar dari pohon Senguri sentubung, dan pohon itu harus dilindungi tidak boleh ditebang sampai kapanpun. Semakin banyak kelahiran maka semakin banyak pohon senguri dan sentubung yang harus dilindungi.

Wanita dalam suku lain di Indonesia mempunyai peran penting menjaga lingkungan sekitar. Meski di tengah-tengah aturan adat yang sering dipandang dalam feminis barat sebagai bentuk kekangan terhadap wanita. Persoalan mengenai wanita, perempuan atau ibu tidak akan pernah bosan atau menemukan ujung yang tuntas.

One response to “WANITA

  1. Pingback: Wanita-Wanita Perkasa - Brikolase·

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.