Oleh Mei Artanto
Musik dan puisi tak ubahnya seperti dua insan yang sedang menjalin asmara. Keduanya menjalin hubungan dengan berbagai trik dan cara agar hubungan tersebut semakin terjalin erat dan penuh makna. Berusaha saling menjajaki demi mengetahui dan mendalami masing-masing kedirian merupakan hal yang perlu dilakukan agar dapat memahami satu sama lain. Berbagai pengalaman indah dalam proses menjajaki terkadang menimbulkan konflik dalam mengarungi perjalanan hubungan. Konflik-konflik yang muncul bagi sebagaian orang justru menjadi bumbu pemanis agar sebuah hubungan terjalin semakin erat, apalagi jika konflik tersebut usai dengan solusi dari keduanya.
Lantas paska melewati fase ini kedua insan ini akan semakin memahami mengenai fungsi dan posisinya dalam hubungan tersebut.
Seklumit analogi di atas kiranya dapat dijadikan gambaran untuk mengawali perbicangan mengenai perjumpaan antara musik dan puisi, yang mana hasil-hasil dari perjumpaan tersebut telah memberi warna bagi kedua wilayah ini. Akan tetapi selain memberi warna baru perjumpaan keduanya turut menyulut sebuah konflik yang semakin meruncing. Persoalan yang sering ditemui seperti upaya memperdebatkan mengenai posisi ruang baru sebagai hasil dari perjumpaan keduanya. Adanya dinamika serta konflik pada perjumpaan dua wilayah yang memiliki akar tradisi kuat ini, yaitu musik dan puisi, menjadi sebuah dialektika yang berdampak positif dalam memberi warna dan kebaruan bagi keduanya. Jika kita tilik ulang kembali, perjumpaan antara musik dan puisi sebenarnya sudah terjalin selama berabad-abad, dan secara prosedural formalisnya dikeduanya memiliki kesamaan-kesamaan (Grim, 2000: 65). Dengan adanya kesamaan ini justru memberi peluang bagi kita untuk mencari dan mendalami kesamaan dari kedua wilayah ini sebagai modal ketika ingin membentuk ruang baru dari perjumpaan musik dan puisi, seperti apa yang disebut dengan musikalisasi puisi.
Musikalisasi puisi merupakan salah satu hasil perjumpaan indah dari musik dan puisi. Namun perjumpaan itu tak hanya berkesan indah, melainkan juga memunculkan problematika atas apa yang disebut dengan musikalisasi puisi ini, yang kemudian berkembang pada usaha mempertanyakan bagaimana cara kerja dan bentuk hasil dari proses ini. Upaya mempertanyakan hal-hal semacam inilah yang justru membuat perjumpaan ini menjadi sesuatu yang hangat dan menarik untuk dibicarakan. Terkait pertanyaan itu, mungkin cara pandang dari Steven Cher (1982) dalam melihat kemungkinan kombinasi antara musik dan sastra, yaitu (1) sastra dalam musik, (2) musik dalam sastra, dan (3) sastra dan musik, dapat digunakan sebagai model atau pijakan untuk menelusuri lika-liku perjumpaan musik dan puisi (Gigliucci, 2014: 408). Apa yang ditawarkan oleh Cher di atas, bagi saya mengisyaratkan konsekuensi bahwa perjumpaan menjadi sebuah titik awal untuk saling mengenal lebih dalam. Maka upaya mengenali dan memahami media serta aspek-aspek dalam musik dan puisi menjadi hal wajib untuk dilakukan, terlebih jika ingin mempertemukannya dalam bentuk baru.
Upaya mengenali dan memahami sebuah media mengingatkan saya pada penjelasan Lono Simatupang dalam menghantarkan sebuah diskusi mengenai Seni dan Multimedialitas. Dalam pengantar diskusi tersebut Lono Simatupang mengutarakan bahwa seni merupakan perkara mewujudkan ide, imajinasi, atau konsep melalui media agar dapat teralami atau terindra, dan upaya mewujudkan inilah yang membutuhkan penguasaan teknik dan pemahaman mendalam atas media-media seni agar dapat menemukan berbagai peluang dan kemungkinan pengolahannya (Simatupang, 11 November 2017). Melalui penjelasan dari Lono Simtupang di atas sudah cukup jelas bahwa dalam upaya mempertemukan media tersebut, yang dalam konteks ini yaitu musik dan puisi, perlu benar-benar memahami media dan aspek apa saja yang mungkin bisa diolah dari keduanya. Untuk itu maka penggunaan multi-modalitas – yang bagi Sapardi Djoko Damono dimaknai sebagai cara menautkan antara upaya mengurai keterbatasan dan mencari potensi atas dua media dengan
berbagai karakteristik (Damono, 11 November 2017) – menjadi jalan tengah untuk mempertemukan musik dan puisi.
Mencari hal-hal yang subtansi dari kedua media ini, yaitu musik dan puisi, menjadi awal upaya mendalami pengolahan media tersebut kedalam wujud-wujud yang beragam. Bagi Suka Harjana, musik merupakan sebuah rekayasa bunyi (Harjana, 2003: 92), dan puisi bagi Sapardi Djoko Damono merupakan permainan bunyi (lihat hps://www. youtube.com/watch?v=u3W5JYO6-0o ), berdasarkan dua definisi ini maka pengolahan bunyi menjadi titik awal untuk kita mempertemukan musik dan puisi. Pertimbangan bunyi sebagai partikel utama dalam musik dan puisi ini yang barangkali digunakan oleh Gatot Danar Sulistiyanto, Acep Zamzam Noor, dan Tony Prabowo dalam menjelaskan dan memberikan indikasi pada tiga kategori dari hubungan antara musik dan puisi, yaitu (1) lagu puisi, (2) musik puisi, dan (3) musikalisasi puisi (Setiawan, ed, artmusictoday.org).
Munculnya tiga kategori ini memberi warna dan tawaran untuk kemungkinan pengolahan media dari musik dan puisi, yang barangkali bisa menjadi pilihan kita dalam berkarya. Uraian di atas mengindikasikan bahwa konsentrasi dalam menempatkan dan memposisikan bunyi dalam bentuk baru menjadi poin penting dalam menghubungkan musik dan puisi, maka wajar jika kualitas pengolahan bunyi inilah yang kemudian turut menentukan bentuk perwujudan dari perjumpaan musik dan puisi. Selain tiga kategori di atas barangkali proses makna puisi, atau bahkan tidak terikat pada penggunaan konsep musik tertentu, seperti nada, interval, harmoni, tonalitas, bahkan pertimbangan tensi (Lerdahl, 2001: 351). Sedalam atau seluas apapun penjelajahan media tersebut pada akhirnya akan kembali pada pilihan kita untuk mengolah seberapa kemungkinannya untuk mempertemukan musik dan puisi. Namun sebelum jauh mendalami dan meluaskan eksplorasi perlu diingat bahwa pengalihan media, seperti musikalisasi puisi yang secara sederhana merupakan proses alih media dari puisi ke dalam musik, memberi konsekuensi pada tata cara pada media baru (musik) yang digunakan sebagai pertimbangan utama (2012: 150). Barangkali hal serupa juga bisa terjadi pada ‘puisisasi musik’, atau yang sering dilakukan pada novel ke film, atau naskah cerita ke tari, atau masih banyak kemungkinan bentuk dan upaya dalam mengalih mediakan, dari yang semula monodialitas menjadi inter / multi-medialitas. Maka dengan hadirnya inter / multi-medialitas ini dalam seni, justru semakin membuat wujud (dapat dibaca teks) seni semakin hidup dan berkembang, yang pada akhirnya membawa manusia menjadi makhluk kreatif (Damono, 11 November 2017 dan 2012: 152).
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 2012. Alih Wahana. Editum.
Gigliucci, Roberto. 2014. Music and poetry: a call for interpretation, Humanities Vol. LXVI. Imprensa da Universidade de Coimbra, Coimbra University Press.
Grim, William E. 2000. The Musicalization of Prose Prolegomena to The Experience of Literature in Musical Form, Analecta Husserliana LXIII. Kluwer Academic Publishers. Harjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Lerdahl, Fred. 2001. The Sound of Poetry Viewed as Music. Annals of the New York Academy of Sciences.
Narasumber
GR. Lono Lastoro Simatupang, dalam Seminar Seni dan Multimedialitas, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada, 11 November 2017.
Sapardi Djoko Damono, dalam Seminar Seni dan Multimedialitas, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada, 11 November 2017.
Sumber Elektronik
Erie Setiawan, ed. Trikotomi Puisi dalam Musik, 19 Agustus 2017, http://www.artmusictoday.org https://www.youtube.com/watch?v=u3W5JYO6-0o